Kamis, 30 Mei 2013

PERINGATAN 1 JUNI 1945


Pancasila

(Catatan editing setelah melihat media menyiarkan berbagai peringatan 1 Juni 2013 ingin menambah beberapa ingatan saya ketika itu)


karikatur ini dikopas dari internet
Buku besar warna biru setebal dan sebesar Kamus Besar Bahasa Indonesia  mungkin lebih tebal lagi,  judulnya Dibawah Bendera Revolosi, Jilid I, dan II yang kutemukan di sepen (gudang kumpulan barang bekas).....ya buku besar itu merupakan kumpulan tulisan Sukarno sejak masih  mahasiswa  sampai Kemerdekaan,  beberapa judul saya baca, yang masih saya ingat kutemukan frasa kata dalam salah satu tulisannya waktu itu, adalah  Marhaenisme yang dipatri dengan Ketuhanan. Di jaman masih hangat hangatnya de-sukarnoisme, ketahuan membaca buku - buku ini   bisa menjadi urusan Babinsa setempat, bisa dianggapnya tindakan subversif atau dicap komunis, oleh karenanya orang tua melarang keras membaca buku ditempat umum,  kecewanya sampai sekarang,  tak pernah tuntas membaca buku itu. Catatan saya kemudian ; Semuda itu memiliki kemampuan intelektual yang luar biasa; belum genap usia 20 tahun, produktif menulis dengan tulisan2 ilmiah, metodologis, setematis, gampang dicerna, dan referensi nya cukup luas dengan kutipan kutipan sejumlah bahasa asing menggugah (ingatan saya al. Filosofis grounslah/ Weltan Saung / Das Solen/Das Sein/ Merdeka atau Mati dan Sonder dll). Sebenarnya dalam soal kecerdasan dalam teori kecerdasan kita pun memiliki potensi kecerdasan yang sama dengan Bung Karno.


  1. Cap Komunis, predikat melekat seperti itu pernah disandang keluarga, hanya gara gara persoalan kemanusiaan. Kejadiannya; beberapa hari setelah peristiwa berdarah G 30 S/PKI waktu itu, dirumah kedatangan seorang ibu sambil menggendong bayi dan 3  anaknya masih kecil, yang meminta pertolongan  untuk membeli barang barang mebelair miliknya karena situasi waktu itu secepatnya ingin pindah orang tuanya di Walikukun/Madiun, karena waktu itu suaminya diculik/diciduk tak kembali. Lemari baju dan Tempat tidur dibelinya harga murah ditambah sejumlah bonus tanaman hias dipot, dan ibu ke empat anaknya tadi sempat menginap semalam karena pertimbangan pergi pagi hari ingin naik kereta api. Predikat itu pernah disandang selama 2 tahun dan berakhir ketika kakak kandung lulus kuliah di Bandung dan menikah dengan Perwira AMN (Akmil sekarang). 
  2. Di usia Sekolah Dasar sekitar kelas 4 atau 5 setelah beberapa bulan kejadian G 30 S PKI tahun 1965 saya dan 2 teman di gelandang ke Kantor Polisi yang persoalannya ucapan atau nyanyian : Pejah Gesang Nderek Banteng  dan ucapan lain : Sampek Gepeng Melok Banteng. Ya sesekali main main ikut ikutan mengucapkan nyanyian itu di Sekolah. Tidak terlalu penting menelisik siapa yang melaporkan saya, warga masyarakat atau guru sekolah, atau wali murid, yang jelas di usia sekolah SD penulis pernah di interogasi oleh yang berwajib.
  3. Interogasi ke dua. Rumah orang tua sangat dekat dengan kantor Polsek, Koramil dan Kantor Kecamatan, tak lebih dari 50 meter, ....ya strategis untuk cangkrukan, buat anak muda, rumah rakyat ini sangat dikenal. Pada musim kampanye Pemilu tahun 1978, sangat terasa sekali   partai besar  mendominasi spanduk, gambar  dan volume kampanye kelilingnya, sementara sesekali partai kecil kampanye dan untung ada gambar, untuk yang satu ini ada istilah gambar atau umbul yang selalu dibawa kemana mana ketika kampanye yang jumlahnya sangat terbatas sekali. 
  4. Malam cangkrukan waktu itu bersama 2 orang teman, timbul ide memeriahkan kampanye mengangkat gambar banteng sebagai idolanya. (dulu gambar banteng hanya satu), tanpa disuruh apalagi diminta oleh pengurus partai, ini prakarsa bertiga. Dibelinya sebatang Bambu besar (pring ori), Tempeh/Tampah/Nampan dari bambu,  Kertas Minyak warna merah, hijau dan putih,  cat warna merah, putih dan hitam serta asesoris pendukung lainnya.  Selepas Maghrib kami bertiga merakit, menghias menggambar kepala Banteng di atas nampan bambu. Dan jadilah umbul umbul raksasa terpasang di sudut perempatan jalan. Megah, meriah, dengan dominasi warna merah dan kepala banteng, menjadi perhatian banyak orang, bangga tentu, dan celakanya umbul umbul raksasa itu menjadikan saya berusan dengan yang berwajib. ya diinterogasi dan di lepas malam itu juga kenapa mungkin mengetahui kalau saya punya Saudara militer.
  5. Ketika kuliah di salah satu perguruan Tinggi Negeri di Malang, penyampaian mata kuliah   Pancasila juga tak seperti dipahami oleh banyak ahli yang waktu itu buku wajibnya disusun oleh Laboratorium Pancasila karangan Prof Darji Darmoduhardjo, SH; cs; dan Prof. Dr. Nugroho Noto Susanto.SH. Ingatan saya dalam perkuliahan waktu, maupun buku buku yang disosialisasikan menyatakan  bahwa  1 Juni bukan Lahirnya Pancasila, tetapi lahirnya istilah Pancasila dan menurut pemahaman saya waktu itu, mengatakan  tekstual ya, tetapi dalam kontek  pemaknaan intelektual sepertinya kita dipaksakan untuk memahami secara seragam dan haram hukumnya berbeda pendapat waktu itu. Kesaksian Moh Hatta dan pendapat Prof Mr. AG Pringgodigdo untuk melengkapi argumen saya, yang tidak diikuti oleh rekan mahasiswa kebanyakan, menjadi .. lagi lagi predikat sukarnisme selalu melekat, apalagi kebetulan penulis berasal dari Blitar. Sepertinya waktu itu hanya Laboratorium Pancasila Ikip Malang satu satunya institusi resmi pentafsir Pancasila yang pro rezim.


Untuk melengkapi pengalaman dan kenangan saya mengutip kamus Wikipedia dari bagian akhir tulisan Bung Karno ketika mencetuskan kata Pancasila sebagai Dasar Negara tanggal 1 Juni 1945.

................."Dasar-dasar Negara" telah saya usulkan. Lima bilangannya. Inikah Panca Dharma? Bukan! Nama Panca Dharma tidak tepat disini. Dharma berarti kewajiban, sedang kita membicarakan dasar. Saya senang kepada simbolik. Simbolik angka pula. Rukun Islam lima jumlahnya. Jari kita lima setangan. Kita mempunyai Panca Inderia. Apa lagi yang lima bilangannya?

(Seorang yang hadir: Pendawa lima).

Pendawapun lima oranya. Sekarang banyaknya prinsip; kebangsaan, internasionalisme, mufakat, kesejahteraan dan ketuhanan, lima pula bilangannya.

Namanya bukan Panca Dharma, tetapi - saya namakan ini dengan petunjuk seorang teman kita ahli bahasa namanya ialah Panca Sila. Sila artinya azas atau dasar, dan di atas kelima dasar itulah kita mendirikan Negara Indonesia, kekal dan abadi. bilangan lima itu?

Saya boleh peras, sehingga tinggal 3 saja. Saudara-saudara tanya kepada saya, apakah "perasan" yang tiga itu? Berpuluh-puluh tahun sudah saya pikirkan dia, ialah dasar-dasarnya Indonesia Merdeka, Weltanschauung kita. Dua dasar yang pertama, kebangsaan dan internasionalisme, kebangsaan dan peri-kemanusiaan, saya peras menjadi satu: itulah yang dahulu saya namakan socio-nationalisme.

Dan demokrasi yang bukan demokrasi barat, tetapi politiek- economische demokratie, yaitu politieke demokrasi dengan sociale rechtvaardigheid, demokrasi dengan kesejahteraan, saya peraskan pula menjadi satu: Inilah yang dulu saya namakan socio-democratie. Tinggal lagi ketuhanan yang menghormati satu sama lain. Jadi yang asalnya lima itu telah menjadi tiga: socio-nationalisme, socio-demokratie, dan ketuhanan. Kalau Tuan senang kepada simbolik tiga, ambillah yang tiga ini.

Tetapi barangkali tidak semua Tuan-tuan senang kepada trisila ini, dan minta satu, satu dasar saja? Baiklah, saya jadikan satu, saya kumpulkan lagi menjadi satu. Apakah yang satu itu?

Gotong royong.

Sebagai tadi telah saya katakan: kita mendirikan negara Indonesia, yang kita semua harus men-dukungnya. Semua buat semua! Bukan Kristen buat Indonesia, bukan golongan Islam buat Indonesia, bukan Van Eck buat indonesia, bukan Nitisemito yang kaya buat Indonesia, tetapi Indonesia buat Indonesia, - semua buat semua ! Jikalau saya peras yang lima menjadi tiga, dan yang tiga menjadi satu, maka dapatlah saya satu perkataan Indonesia yang tulen, yaitu perkataan "gotong-royong". Negara Indonesia yang kita dirikan haruslah negara gotong royong! Alangkah hebatnya! Negara Gotong Royong!

"Gotong Royong" adalah faham yang dinamis, lebih dinamis dari "kekeluargaan", saudara-saudara! Kekeluargaan adalah satu faham yang statis, tetapi gotong-royong menggambarkan satu usaha, satu amal, satu pekerjaan, yang dinamakan anggota yang terhormat Soekardjo satu karyo, satu gawe. Marilah kita menyelesaikan karyo, gawe, pekerjaan, amal ini, bersama-sama ! Gotong-royong adalah pembantingan-tulang bersama, pemerasan-keringat bersama, perjoangan bantu-binantu bersama. Amal semua buat kepentingan semua, keringat semua buat kebahagiaan semua. Ho-lopis-kuntul-baris buat kepentingan bersama! Itulah Gotong Royong!


Prinsip Gotong Royong diatara yang kaya dan yang tidak kaya, antara yang Islam dan yang Kristen, antara yang bukan Indonesia tulen dengan peranakan yang menjadi bangsa Indonesia.

Pancasila menjadi Trisila, Trisila menjadi Eka Sila. Tetapi terserah kepada tuan-tuan, mana yang Tuan-tuan pilih: trisila, ekasila ataukah pancasila? Is i n y a telah saya katakan kepada saudara-saudara semuanya. Prinsip-prinsip seperti yang saya usulkan kepada saudara-saudara ini, adalah prinsip untuk Indonesia Merdeka yang abadi. Puluhan tahun dadaku telah menggelora dengan prinsip-prinsip itu. Tetapi jangan lupa, kita hidup didalam masa peperangan, saudara- saudara. Di dalam masa peperangan itulah kita mendirikan negara Indonesia, - di dalam gunturnya peperangan! Bahkan saya mengucap syukur alhamdulillah kepada Allah Subhanahu wata'ala, bahwa kita mendirikan negara Indonesia bukan di dalam sinarnya bulan purnama, tetapi di bawah palu godam peperangan dan di dalam api peperangan. Timbullah Indonesia Merdeka, Indonesia yang gemblengan, Indonesia Merdeka yang digembleng dalam api peperangan, dan Indonesia Merdeka yang demikian itu adalah negara Indonesia yang kuat, bukan negara Indonesia yang lambat laun menjadi bubur.

Berhubung dengan itu, sebagai yang diusulkan oleh beberapa pembicara-pembicara tadi, barangkali perlu diadakan noodmaatregel, peraturan bersifat sementara. Tetapi dasarnya, isinya Indonesia Merdeka yang kekal abadi menurut pendapat saya, haruslah Panca Sila. Sebagai dikatakan tadi, saudara-saudara, itulah harus Weltanschauung kita. Entah saudara- saudara mufakatinya atau tidak, tetapi saya berjoang sejak tahun 1918 sampai 1945 sekarang ini untuk Weltanschauung itu. Untuk membentuk nasionalistis Indonesia, untuk kebangsaan Indonesia; untuk kebangsaan Indonesia yang hidup di dalam peri-kemanusiaan; untuk permufakatan; untuk sociale rechtvaardigheid; untuk ke-Tuhananan. Panca Sila, itulah yang berkobar-kobar di dalam dada saya sejak berpuluh-puluh tahun. Tetapi, saudara-saudara, diterima atau tidak, terserah saudara-saudara. Tetapi saya sendiri mengerti seinsyaf- insyafnya, bahwa tidak satu Weltaschauung dapat menjelma dengan sendirinya, menjadi realiteit dengan sendirinya. Tidak ada satu Weltanschauung dapat menjadi kenyataan, menjadi realiteit, jika tidak dengan perjoangan!

Janganpun Weltanschauung yang diadakan oleh manusia, jangan pun yang diadakan Hitler, oleh Stalin, oleh Lenin, oleh Sun Yat Sen! "De Mensch", -- manusia! --, harus perjoangkan itu. Zonder perjoangan itu tidaklah ia akan menjadi realiteit! Leninisme tidak bisa menjadi realiteit zonder perjoangan seluruh rakyat Rusia, San Min Chu I tidak dapat menjadi kenyataan zonder perjoangan bangsa Tionghoa, saudara-saudara! Tidak! Bahkan saya berkata lebih lagi dari itu: zonder perjoangan manusia, tidak ada satu hal agama, tidak ada satu cita-cita agama, yang dapat menjadi realiteit. Janganpun buatan manusia, sedangkan perintah Tuhan yang tertulis di dalam kitab Qur'an, zwart op wit (tertulis di atas kertas), tidak dapat menjelma menjadi realiteit zonder perjoangan manusia yang dinamakan ummat Islam. Begitu pula perkataan-perkataan yang tertulis didalam kitab Injil, cita-cita yang termasuk di dalamnya tidak dapat menjelma zonder perjoangan ummat Kristen.

Maka dari itu, jikalau bangsa Indonesia ingin supaya Panca Sila yang saya usulkan itu, menjadi satu realiteit, yakni jikalau kita ingin hidup menjadi satu bangsa, satu nationali- teit yang merdeka, ingin hidup sebagai anggota dunia yang merdeka, yang penuh dengan perikemanusiaan, ingin hidup diatas dasar permusyawaratan, ingin hidup sempurna dengan sociale rechtvaardigheid, ingin hidup dengan sejahtera dan aman, dengan ke-Tuhanan yang luas dan sempurna, --janganlah lupa akan syarat untuk menyeleng-garakannya, ialah perjoangan, perjoangan, dan sekali lagi pejoangan. Jangan mengira bahwa dengan berdirinya negara Indonesia Merdeka itu perjoangan kita telah berakhir. Tidak! Bahkan saya berkata: Di-dalam Indonesia Merdeka itu perjoangan kita harus berjalan t e r u s, hanya lain sifatnya dengan perjoangan sekarang, lain coraknya. Nanti kita, bersama-sama, sebagai bangsa yang bersatu padu, berjoang terus menyelenggarakan apa yang kita cita-citakan di dalam Panca Sila. Dan terutama di dalam zaman peperangan ini, yakinlah, insyaflah, tanamkanlah dalam kalbu saudara-saudara, bawa Indonesia Merdeka tidak dapat datang jika bangsa Indonesia tidak mengambil risiko, -- tidak berani terjun menyelami mutiara di dalam samudera yang sedalam-dalamnya.

Jikalau bangsa Indonesia tidak bersatu dan tidak menekad-mati-matian untuk mencapai merdeka, tidaklah kemerdekaan Indonesia itu akan menjadi milik bangsa Indonesia buat selama-lamanya, sampai keakhir jaman! Kemerdekaan hanya- lah diperdapat dan dimiliki oleh bangsa, yang jiwanya berkobar-kobar dengan tekad "Merdeka, -- merdeka atau mati"!


selengkapnya baca : wikipedia

soeroto1@yahoo.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar